Sumber: IG @Hanhanny |
Saya kira ketika bisa menikmati barongko (kudapan olahan pisang suku Bugis Makassar) di tempat yang jauh dari tanah aslinya, rasanya akan luar biasa. Ternyata rasanya ya biasa saja, seperti sedang makan begitu saja. Kemudian saya tersadar, yang kita atau mungkin saya konsumsi bukan hanya makanan atau minuman saja, tetapi budaya dan orang-orang yang ada di dalamnya juga.
Lahir dan tumbuh besar di tanah Sulawesi, saya terbiasa yang kultur budaya orang setempat. Makanannya, minumannya, cara berinteraksinya, orang-orangnya, tempat-tempatnya, adalah hal-hal yang sudah menjadi rutinitas dan bagian dari hidup saya.
Pada bulan suci Ramadhan, makanan seperti barongko, Tetu (kue perahu), jalangkote, pisang ijo, buroncong, dange, bolu paranggi dan beberapa makanan tradisional ala suku Kaili dan Bugis sudah menjadi bagian daripada nafas kami orang Sulawesi Tengah, tidak afdhol rasanya sebagai orang Palu kalau tidak buka puasa dengan jenis panganan di atas 😅
Menjalani kehidupan jauh dari tanah Sulawesi selama setahun belakangan, kadang membuat saya rindu sekali dengan kampung halaman. Berharap, ketika bertemu makanan khas Palu rindu saya akan terobati, nyata tidak semudah itu. Beberapa kali bertemu makanan khas Sulawesi ternyata tidak benar-benar mengobati rasa rindu kepada kampung halaman. Makan Barongko ya biasa saja, makan sambal roa ya biasa juga, makan Nasu bale juga ya begitu-begitu saja, makan nasi kuning juga tidak ada rasa istimewanya. Ternyata ada yang kurang dari itu semua tidak peduli mungkin seenak apa rasa makanannya, yaitu interaksi sosial dan budaya bersama orang-orang di tanah kelahiran.
Dulu makan barongko dkk di bulan ramadhan ternyata rasanya luar biasa karena dijalani bersama orang-orang terdekat, keluarga, kawan-kawan, dan mungkin juga tetangga. Saat mengonsumsi makanan tadi dengan orang-orang berbeda di tanah rantau rasanya juga jadi berbeda, karena ada perbedaan kultur, budaya, dan interaksi sosial yang menyebabkan terjadinya perasaan kosong karena merindukan kampung halaman, ya walaupun orang-orang di tanah rantau juga luar biasa baiknya.
Ada gap atau ruang kosong karena kami memandang makanan ini dengan memori dan sudut pandang yang berbeda. Bagi kerabat saya di tanah rantau ini mungkin melihat makanan khas Sulawesi hanya dari segi fisiknya, "oh ini makanan olahan pisang, oh ini pastel isi sayur dan telur, oh ini manis, oh ini gurih" dan sebagaimana mata kita melihat bentuk fisik dan rasa makanan. Tetapi kemudian ini menjadi berbeda dengan saya yang memiliki memori tersendiri dengan makanan-makanan tadi. Menikmati barongko dkk tidak bersama keluarga dan kerabat yang ada di Palu justru membuat saya merindukan mereka. Rasanya ingin kembali merasakan momentum menikmati makanan ini bersama mereka seperti tahun-tahun sebelumnya, sebelum merantau jauh ke tanah Batavia barang hanya sehari dua hari saja.
Kemudian saya simpulkan bahwa makanan sebenarnya hanyalah sebuah media, perlu interaksi sosial dan budaya sehingga menyebabkan makanan tadi menjadi penghubung perasaan cinta kasih dengan orang-orang di sekitar kita, dan yang kita rindukan bukan makanannya, tetapi kehangatan menikmati makanan dan minuman tersebut bersama keluarga dan kerabat lainnya.
Saya rasa pasti tak hanya saya yang merasakan hal ini, anak rantau lain juga pasti merasakannya, karena sudah menjadi hal klasik itu jika anak rantau sesekali merindukan kampung halaman, iya kan? 😅
Komentar
Posting Komentar